PROBOLINGGO – Selama 2 hari, 26-27 Juli kemarin perhelatan Jazz Gunung Bromo yang ke-11 sukses menghangatkan para penonton di Amfiteater, Jiwa Jawa Resort. Di balik megahnya konser ini, rupanya ada ambisi dari si penggagas untuk merubah stigma masyarakat terhadap branding pariwisata Gunung Bromo, seperti apa?
Anda kebanyakan pasti sudah mengerti bahwa Gunung Bromo di branding menjadi tempat terbaik untuk menikmati sunrise. Banyak sunrise point yang ditawarkan sejumlah jasa travel. Apakah branding ini bisa mengajak wisatawan stay longer and spent more? Jawaban Pengagas Jazz Gunung Indonesia, Sigit Pramono adalah tidak.
“Pada prinsip pariwisata harusnya wisatawan tidak hanya sehari di kawasan itu. Menginap sehari, melihat sunrise, makan, lalu pulang. Namun bagaimana caranya kita menyajikan sesuatu agar wisatawan punya alasan menghbiskan waktu dan uangnya lebih banyak disana,” ungkapnya.
Untuk me-rebranding Gunung Bromo menjadi lain daripada yang lain, ia bersama dengan Djaduk Ferianto dan Butet Kertarejasa akhirnya menginisiasi gelaran jJazz Gunung Bromo.
“Saya sebagai pemilik Jiwa Jawanya, mas Djaduk dan Butet itulah yang menggaet musisinya,” tambah dia.
Dengan adanya gelaran ini, usai melihat sunrise pun, wisatawan tidak langsung pulang. Minimal mereka ada waktu 2-3 hari untuk jelajah Bromo sembari menunggu mulainya konser jazz.
“Musik jazz menjadi pilihan kami karena melekat di jiwa anak muda. Gelaran jazz dengan nuansa terbuka alam ini pertama kalinya ya jazz gunung,” sambung Sigit.
Saat wisatawan mulai berbondong-bondong menuju Gunung Bromo, tentunya tak hanya si penggagas yang merasa senang. Potensi ekonomi di area sekitar pun meningkat pesat. Sebab potensi jumlah dan rentang waktu kunjungan wisatawan sangat berpengaruh pada kualitas pengembangan pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar.
“Ya kalau di buku petunjuk wisatawan Bromo itu ada 2 festival besar yakni Kasada dan Jazz Gunung. Harapannya setiap bulan ada festival lain. Ini masih kami pikirkan,” jelas dia.
Discussion about this post