PROBOLINGGO – Nonton musik jazz dengan nuansa alam dan suhu dingin cuma ada di Jazz Gunung Indonesia yang digelar di Gunung Ijen dan Gunung Bromo yang digelar selama dua hari (26-27/7). Sebelum menjadi perhelatan besar seperti sekarang, ternyata banyak kisah perjuangan yang dilalui.
Salah satunya perjuangan merayu musisi untuk tampil di suhu dingin yang hampir menyentuh titik beku. Penggagas Jazz Gunung Indonesia, Sigit Pramono bercerita, di awal penyelenggaraan Jazz Gunung Bromo, Sigit bersama Djaduk Ferianto dan Butet Kertarejasa harus melakukan pendekatan khusus kepada musisi agar bersedia tampil di panggung outdoor dengan ketinggian 2329 mdpl.
Sigit mengungkapkan, karena tak mudah menyanyi dan bermain musik di tempat yang sangat dingin. Suhu yang rendah kadang bisa jadi membuat suara tinggi pun gagal. Hal ini lah yang sempat mengukir keraguan di hati para musisi.
“Awal-awal dulu kita rayu dan bingung siapa yang mau tampil. Tapi lambat laun saat ini malah banyak musisi yang pengin tampil di sini,” cerita Sigit.
Bahkan saat ini kawannya, Djaduk Ferianto kewalahan untuk melakukan kurasi musisi yang akan tampil di Jazz Gunung. Tak seperti dulunya yang hanya terpaku pada musisi Jazz, dalam tahun-tahun terdekat ini Jazz Gunung Bromo juga mengembangkan hadirnya musisi dari lintas genre.
“Seperti tahun lalu itu Soimah yang kita gabungkan dengan Ring of Fire Project. Tahun ini kita ada Didi Kempot dari genre campur sari,” sambung Sigit.
Semakin kemari, menurutnya musik jazz sangat terbuka dan demokratis. Menurutnya tak ada kata genre musik yang tak bisa dikombinasikan dengan musik jazz. Apalagi, sentuhan-sentuhan etnik saat ini juga mulai diletakkan dalam gelaran Jazz Gunung Bromo.
“Kami ingin musik jazz di sini jadi jazz yang etnik. Yang menggabungkan alat-alat musik seperti perkusi atau gamelan. Jadi nggak cuma sekadar jazz aja. Semoga ke depannya gelaran ini bisa diadakan di lebih banyak gunung di Indonesia,” tutup dia.
Discussion about this post